Pemberdayaan Masyarakat VS Geografis dan Tipologi Masyarakat Desa
Oleh :
TPPI Kalimantan Barat
Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah proses pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok dengan tujuan agar bisa lebih mandiri, sejahtera serta mampu menentukan langkah-langkah yang akan diambil untuk kepentingan masyarakat itu sendiri. Pemberdayaan sebenarnya menjadi langkah yang efektif untuk membangun sebuah wilayah berikut para pemukimnya. Melalui pemberdayaan, berbagai masalah dapat di cegah, diatasi bersama, timbul semangat gotong royong, saling membantu saling memiliki dan saling merasakan.
Tetapi menjadi sesuatu yang sangat bertolak belakang, jika pemberdayaan diterapkan pada sebuah wilayah yang memiliki kemampuan ekonomi yang cukup kuat. Kemampuan ekonomi yang muncul karena geografis wilayah tersebut yang memang sangat menunjang akan kekuatan ekonomi tadi. Contoh nyata adalah sulitnya pemberdayaan masyarakat yang wilayahnya pada area perkebunan kelapa sawit. Untuk saat ini perkebunan kelapa sawit cukup menjadi primadona. Dengan pesatnya kenaikan harga TBS (tandan buah sawit) dua tahun belakangan ini, menjadikan kehidupan masyarakat terutama yang memiliki perkebunan sawit berubah secara perlahan tetapi pasti.
Hal tersebut tidak hanya berdampak pada pemilik kebun saja, masyarakat yang tidak memiliki kebun juga mendapatkan dampak baiknya, yaitu tersedia lapangan pekerjaan yang tidak mensyaratkan keahlian tertentu, misalnya sebagai pengutip biji kelapa yang rontok (brondolan), pemanen, pemuat dsb. Dapat dikatakan bahwa dampak perkebunan kelapa sawit terhadap menguatnya ekonomi masyarakat cukup kuat dan dominan.
Tetapi jarang yang menyadari, hal tersebut tidak serta merta menjadi sebuah hal yang 100% baik. Harus disadari bahwa hal itu juga perlahan menimbulkan degradasi terhadap pola pikir masyarakat, pola hidup dan pola bermasyarakat. Pola pikir dan pola hidup yang dapat menunjang jalannya pemberdayaan masyarakat tentunya. Dengat menguatnya kemampuan ekonomi tadi, beberapa hal yang menjadi "roh"pemberdayaan semakin memudar.
Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan keadaan ekoomi yang kuat, mereka cenderung memiliki jiwa konsumtif, bukan sekedar konsumtif terhadap suatu produk, tetapi lebih kepada mengandalkan "membayar" untuk mendapatkan sesuatu. Mereka sudah jarang menggali potensi, baik potensi sumber daya manusia, potensi lingkungan, potensi alam dan potensi lainnya. Meskipun tidak semuanya masyarakat berubah tipe menjadi seperti itu, tetapi perbandingan antara masyarakat yang memahami pemberdayaan dengan yang tidak memahami serta tidak mau memahami pemberdayaan sangat pincang.
Terkesan menjadi "keterlaluan" dikatakan masyarakat di area perkebunan sawit saat ini sulit diberdayakan, tetapi pada realitanya memang seperti itu. Hal ini terindikasi dari beberapa pemantauan yang telah dilakukan,
Setiap APBDes yang disusun dan disahkan, baik APBDes awal maupun APBdes Perubahan di sebuah desa, alokasi anggaran untuk pemberdayaan masyarakat selalu tidak pernah melebihi dari anggaran pembangunan infrastruktur di desa. Artinya setiap tahunnya masih mengutamakan bidang pembangunan infrastruktur, dibandingkan membangun manusianya. Hal itu terjadi selama Dana Desa disalurkan ke pemerintah desa sejak 2015 hingga saat ini.
Pandangan dari kaum pemberdayaan, sebenarnya itu sudah menjadi sebuah kesalahan yang "terpelihara". Mengapa demikian? Banyak pertanyaan yang seharusnya merka mengerti jawabannya. Mengapa selalu infrastruktur? Bukankah lingkungan perkebunan sawit itu memiliki perekonomian yang kuat? Apakah tidak cukup selama 9 tahun membangun infrasruktur di desa? Pertanyaan tersebut memang logis, dan pasti jawabannya juga akan beragam, tergantung ditanyakan kepada siapa.
Ternyata kemampuan ekonomi yang cukup kuat tersebut di awal belum mampu menjadikan infrastruktur di wilayah itu ikut membaik. Mengapa? Karena sebagaimana disebutkan diawal, "roh" pemberdayaan sudah pudar dan menghilang. Setiap masyarakat memiliki pendapat masing-masing, keinginan masing-masing, begitu juga cara masing-masing. Dikarenakan sudah cukup baiknya kemampuan ekonomi yang didapatkan. Ketika jalan didepan rumah rusak, mereka lebih memilih membayar tenaga atau membayar peralatan untuk memperbaikinya. Padahal, itu harusnya bisa dikerjakan secara gotong royong misalnya.
Contoh lain dari tidak berdayanya pemberdayaan di masyarakat itu. Setiap hari ada seorang penjual sayuran keliling, menjajakan sayuran, kue, keripik singkong, keripik pisang, dsb. Penjual itu berasal dari luar desa, luar kecamatan, bahkan luar kabupaten. Hanya saja memang secara geografisnya berdekatan dengan wilayah itu. Anehnya keripik pisang yang penjual itu jajakan selalu habis, laris manis, bahkan ada yang memesan ketika penjual itu datang lagi nantinya, untuk dibawakan dengan jumlah sekian kilo. Pada realitanya, wilayah itu bukan tidak memiliki pohon pisang yang berbuah. Banyak pohon pisang dan berbuah. Pertanyaannya, mengapa mereka memilih membeli kripik pisang itu? Mengapa mereka tidak mencoba mengolah pisang yang ada diwilayah itu menjadi keripik pisang? sehingga menjadi sebuah produk dari wilayah itu? Alasan sama, kembali ke awal, mereka memilih membayar untuk mendapatkan sesuatu.
itu baru sedikit contoh fakta lapangan yang terjadi, dan ketika masyarakat diajak berdialog mengenai hal itu secara langsung, maka kesimpulannya mereka sudah tidak memahami pemberdayaan, melainkan mereka lebih memilih jalur "bisnis" dan cenderung mencari "untung" dalam berbagai hal.